Tuesday, 20 October 2015

Kenali Tanda Stres pada Anak


JIKA orang dewasa bisa (mudah) mengalami stres, maka anak-anak juga bisa mengalaminya. Banyak yang memengaruhi stres pasa usia anak. Tentu saja, orangtua memiliki tugas penting untuk mengenali tanda-tandanya.
Banyak hal yang bisa membuat anak-anak mengalami stres. Mulai dari lingkungan sekolah, teman-temannya, orangtua, hingga bagaimana ia menilai dirinya sendiri. Dalam lingkungan sekolah, pernah atau selalu menjadi korban bullying, bisa membuatnya takut dan tidak mau berangkat ke sekolah. Tentu saja, ia menjadi stress karena takut di-bully.
Selain itu, merasa tidak ‘populer’atau tidak dianggap keberadaannya —misalnya tidak diundang ke pesta ulangtahun teman sekelasnya—, merasa tidak pintar dalam akademis, jam belajar yang panjang, dan tuntutan untuk selalu mendapatkan nilai bagus, bisa membuat sang anak stres. Adapun secara personal atau kehidupan di rumah, perasaan insecure seperti merasa gemuk atau tidak cantik, serta orangtua yang selalu sibuk, juga bisa memicu stres pada anak.
Dan ada banyak lagi kemungkinan-kemungkinan yang bisa memicu stress pada mereka. Gita Christiana S Psi M Psi menuturkan, ada empat faktor yang mempengaruhi stres pada anak. Yakni kepribadian, banyak atau tidaknya stressor atau faktor pencetus stres, kematangan mental, dan dukungan sosial. Anak yang introvert lebih mudah
stres daripada mereka yang ekstrovert. “Ini karena anak yang introvert cenderung menutup diri atau memendam kesedihannya jika ada masalah. Berbeda dengan anak yang terbuka terhadap teman dan orangtuanya,” papar Gita.
Yang kedua, semakin banyak stressor, semakin tinggi tingkat stres mereka. Misalnya jika kehidupan di rumahnya tidak harmonis, teman-teman atau guru di sekolahnya pun tidak memperlakukannya dengan baik, serta selalu mendapatkan nilai jelek, otomatis anak lebih mudah stres. Ketiga, semakin matang mental seorang anak, responnya terhadap menghadapi masalah juga semakin matang.
Ibaratnya, anak usia 12 tahun pasti lebih bijak dalam menyikapi masalah dibandingkan anak yang berusia 7 tahun. Dan yang terakhir, dukungan sosial dari lingkungan terdekatnya. Yakni keluarga dan temanteman dekatnya. Banyaknya dukungan dari orang-orang yang ia sayangi ketika ia sedang bersedih, bisa mengurangi ‘beban’yang ia rasakan.
Perubahan perilaku
Orangtua harus bisa membaca tanda-tanda perubahan perilaku pada anaknya, yang secara umum merupakan tanda jika anak mengalami stres. Yang pertama, perubahan emosi.
Tiap anak memiliki reaksi emosional yang berbeda dalam menanggapi stres. Ada yang menjadi pendiam, mudah marah, atau menjadi sensitif seperti mudah menangis. Kedua, aktivitas sehari-harinya menjadi terganggu. Misalnya jadi malas atau tidak mau masuk sekolah, atau pola makan dan tidur jadi berubah. Ada yang karena stres jadi banyak makan, atau tidak mau makan. Ada yang sulit tidur, ada pula yang jadi berlebihan jam tidurnya.
Yang terakhir adalah regresi atau kemunduran perilaku. Misalnya anak yang sudah jauh melewati masa mengompol, tiba-tiba jadi mengompol. Menghisap jempol, mengalami mimpi buruk, atau menggigit kuku, juga termasuk perilaku regresi, yang harus diwaspadai para orangtua.
Peran orangtua
Mengerti hakikat dan perannya sebagai orangtua, merupakan hal penting yang harus dimiliki tiap orangtua, yang tak hanya bisa mengurangi stres pada anak, tapi juga untuk membangun kedekatan emosional, plus memiliki kualitas waktu bersama anak-anaknya.
“Orangtua merupakan psikolog nomor satu bagi anak-anaknya. Dan kedekatan emosional yang baik, membuat orangtua memiliki insting terhadap penyebab stres pada anaknya, sekaligus cara mengatasinya,” ujar Gita. Peran dan hakikat orangtua juga termasuk memahami dan menghargai karakter dan bakat anaknya, dengan tidak memaksakan dalam hal akademis, atau membandingkannya dengan saudaranya atau anak lain seusianya.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tiap anak memiliki keunikannya tersendiri, untuk itu mereka tidak bisa dibanding-bandingkan satu sama lain. Gita mengatakan, jika ingin membuat anak menjadi lebih baik, minta dia supaya lebih rajin belajar, daripada membandingkannya dengan saudaranya yang lebih berprestasi.
Orangtua yang memahami dan mendukung keunikan karakteristik anaknya, tidak akan mempermasalahkan jika salah satu anaknya sangat pandai dalam hal akademis, sedangkan anak yang lainnya buruk dalam akademis namun lebih unggul dalam hal kesenian. Jika Anda memiliki anak yang memiliki konsep diri negatif (insecure), peran ayah yang maksimal, akan sangat berarti baginya. Sang ayah memiliki perannya tersendiri.
Jika ibu berperan sebagai orang yang merawat dan memenuhi kebutuhan anaknya, maka peran ayah adalah sebagai motivator dan pelindung. Untuk itu, penting bagi anak untuk mempunyai rasa aman, yang ia dapatkan dari ayahnya. Kedua, manajemen stres orangtua. Tujuannya, supaya anak tidak menjadi pelampiasan kekesalan (stres) orangtuanya.
“Intinya, orangtua harus bisa menurunkan ego demi kebahagiaan anaknya,” imbuh Gita. Dan terakhir, orangtua harus memiliki pola asuh demokratis. Artinya, orangtua bisa menjadi teman bagi anaknya, sekaligus mempunyai otoritas. Sehingga anak merasa nyaman untuk bercerita atau sharing, sekaligus tetap patuh dan menuruti orangtuanya (Mutiara Manggia- 11)

Sumber : Suara Merdeka


No comments:

Post a Comment