Tuesday, 15 September 2015

MSG Berisiko Menyebabkan Kegemukan



Siapa yang tidak mengenal Monosodium Glutamate atau yang sering kita kenal dengan MSG dalam bahasa sehari-hari ?. Tentu sebagian besar sudah pernah mendengar bahkan sering mengkonsumsi penambah rasa yang satu ini. Monosodium Glutamate (MSG) pertama kali diisolasi sebagai asam glutamat pada tahun 1866 oleh ahli kimia Jerman yang bernama Ritthausen dengan hidrolisis asam dari gliadin, sebuah komponen dari gluten gandum.

Menurut Vernon (2004) yang dikutip dari Journal of Chemical Education menyebutkan bahwa komponen utama MSG adalah 78% glutamat, yang merupakan salah satu asam amino pembentuk protein tubuh dan makanan. Unsurunsur MSG lainnya juga tidak asing bagi tubuh dan makanan sehari-hari, yaitu 12% natrium/sodium dan 10% air.

Monosodium Glutamate (MSG) memiliki cita rasa yang khas disebut ìumamiî, suatu elemen rasa yang dijumpai pada makanan alamiah seperti kaldu. Sebagai penambah rasa (flavor enhancer), bahan ini sudah diproduksi secara komersial sejak tahun 1909. Oleh karena itu, penggunaan MSG sampai saat ini tidak hanya dijumpai pada proses pengolahan makanan dengan skala besar saja, pada tingkat rumah tangga sudah sering dijumpai penggunaannya untuk sehari-hari. Namun, ada juga masyarakat yang meyakini tidak aman atau berbahaya untuk dikonsumsi. Lantas, Apakah MSG aman untuk dikonsumsi ?.

Tahun 1959, Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika mengelompokkan MSG sebagai ìgenerally recognized as safeî (GRAS), sehingga aman untuk dikonsumsi. Di Indonesia, konsumsi aman diatur dalam PerKBPOM No.23 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penguat Rasa. Dalam PerKBPOM No.23 Tahun 2013 tidak terdapat batas aman yang spesifik untuk konsumsi MSG. Namun, FDA menetapkan batas aman adalah 120 mg/kg berat badan/hari.

Sebuah survei yang dilakukan oleh FDA melaporkan bahwa di Amerika Serikat konsumsi perkapita rata-rata mencapai 550 mg/hari, sedangkan di Inggris ditemukan pada masyarakat rata-rata mencapai 580 mg/hari. Di Wilayah Asia khususnya Jepang dan Korea diperkirakan rata-rata mencapai 1,2-1,7 g/hari. Rata-rata konsumsi MSG untuk beberapa Negara di atas tentunya sudah melebihi batas aman FDA. Sehingga muncul suatu pertanyaan, apa dampak yang melebihi batas aman bagi tubuh ?. Bagaimana mekanisme ini bisa terjadi ?.

Konsumsi yang berlebih salah satunya berisiko meningkatkan potensi kegemukan, hal ini dilansir dalam sebuah jurnal Internasional yaitu ’’American Journal of Clinical Nutrition’’ (AJCN). Penelitian ilmiah mengenai hubungan bahan tersebut dengan kejadian kegemukan sudah banyak dilakukan, baik melalui hewan coba maupun manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Sanabria et al pada tahun 2002 mengenai pemberian MSG 4 mg/hari terhadap tikus hamil hari ke 17-21 menunjukkan bahwa anak-anak tikus lebih gemuk bahkan cenderung obesitas. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ka He et al pada tahun 2011 juga menunjukkan bahwa  konsumsi berhubungan dengan kejadian kegemukan pada orang dewasa di China. Penelitian ini dilakukan secara prospektif dan memakan waktu yang sangat lama yaitu mulai dari tahun 1991 sampai 2006.

Keseimbangan
MSG berpengaruh terhadap keseimbangan energi melalui gangguan aktivitas hormon leptin pada kelenjar hipotalamus yang terdapat pada otak. Leptin mempunyai peranan yang penting dalam hal pengaturan berat badan seseorang. Caranya dengan mengendalikan rasa lapar dan pemakaian energi.

Pada dasarnya, leptin adalah penghubung antara sistem syaraf pusat dan sel lemak dalam tubuh. Setelah ditangkap oleh penerima leptin, otak segera menyampaikan sinyal yang menurunkan rasa lapar dan menaikkan pemakaian energi. Jika aktivitas Leptin terganggu maka akan mengakibatkan nafsu makan terus-menerus tinggi dan penggunaan energi cenderung rendah. Aktivitas fisik yang kurang dan asupan tinggi kalori mempengaruhi sindrom metabolik dalam tubuh dengan menurunkan tingkat asam lemak bebas dan oksidasi glukosa dalam otot skeletal dan otot jantung, yang berpotensi menimbulkan penumpukan lemak tubuh dan resistensi terhadap kerja biologis insulin.

Dalam bahasa sederhana, MSG dapat mengganggu kerja hormon leptin di hipotalamus otak, dimana jika  terganggu maka nafsu makan akan terus meningkat sehingga seseorang akan merasa lapar terus-menerus dan menyebabkan konsumsi makanan akan berlebih. Namun, peningkatan konsumsi makanan tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup sehingga penggunaan energi cenderung rendah. Jika konsumsi makanan berlebih namun aktivitas fisik kurang maka sindrom metabolik tubuh akan terganggu akibatnya terjadi penumpukan lemak dalam tubuh sehingga hal ini yang menyebabkan timbulnya risiko kegemukan bahkan jika berlangsung secara berulang akan timbul obesitas.

Gizi Ganda
Kegemukan (overweight) merupakan salah satu model transisi masalah gizi di Indonesia, fenomena ini sering disebut masalah gizi ganda. Sebelumnya, hanya gizi buruk saja yang ditandai dengan marasmus dan kwashiorkor, namun sekarang ini timbul masalah gizi lebih yang ditandai dengan kegemukan dan obesitas. Menurut data Riskesdas 2010, prevalensi obesitas di Indonesia meningkat dari 12,2% pada tahun 2007 menjadi 14,2 % pada tahun 2010.

Kegemukan atau obesitas adalah suatu kondisi medis berupa kelebihan lemak tubuh yang terakumulasi  sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak merugikan, yang kemudian menurunkan harapan hidup dan atau meningkatkan masalah kesehatan. Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, kegemukan atau obesitas berisiko menyebabkan berbagai jenis penyakit.

Beberapa yang berakar dari obesitas diantaranya penyakit jantung koroner (PJK) dan Diabetes Mellitus Tipe II yang diakibatkan oleh resistensi insulin. Pada prinsipnya, timbunan lemak akan memicu terbentuknya aterosklerosis, penebalan pembuluh darah akibat akumulasi senyawa lemak seperti kolesterol dan trigliserida, khususnya pada arteri koronaria, arteri yang bertugas membawa darah segar ke otot-otot jantung. Pengaruh lemak ini tidak bersifat langsung, tetapi melalui proses berantai yang kompleks. Secara singkat, lemak yang terakumulasi pada pembuluh darah akan menimbulkan peradangan, yang pada akhirnya membentuk tonjolan plak yang mempersempit diameter dalam pembuluh darah. Pada sindrom koroner akut, biasanya telah terjadi pecahnya plak tersebut yang nantinya dapat menyumbat pada arteri koroner.

Gejala penyakit jantung koroner yang disebut dengan sindrom koroner akut (ìserangan jantungî) timbul ketika terjadi peningkatan kebutuhan oksigen jantung tanpa disertai pasokan yang memadai, atau penurunan suplai oksigen pada jantung.

Peningkatan kebutuhan oksigen ini terjadi pada saat jantung melakukan kerja berat misalnya pada saat  berolahraga berat.Sedangkan penurunan suplai oksigen disebabkan karena adanya pengerutan atau penyumbatan arteri koroner. Apabila kebutuhan oksigen jantung tidak terpenuhi dalam jangka waktu tertentu, maka otot jantung akan mengalami kekurangan oksigen dalam darah (iskemia), yang lama kelamaan akan diikuti dengan matinya sel otot jantung (nekrosis). Kondisi iskemia dan nekrosis inilah yang menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan henti jantung pada penderita penyakit jantung koroner.

Fakta lain menunjukkan bahwa obesitas memicu peradangan mikro dalam tubuh yang terjadi secara menyeluruh dan terus menerus. Mekanisme peradangan tersebut dapat berkaitan erat dengan terjadinya respon stress yang berujung pada resistensi fungsi insulin.

Dari sini, kita dapat mengambil faedah yaitu, obesitas, adalah salah satu faktor risiko utama diabetes dan memang faktanya 80% pada pasien diabetes mellitus tipe II, mengalami obesitas. Kegiatan olahraga dan pengurangan berat badan, terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan sensitivitas dari insulin dan memperbaiki kontrol gula darah pada pasien diabetes.

Gambaran fenomena ini tentunya menjadi renungan terhadap asupan makanan yang selama ini diterapkan mulai dari tingkat rumah tangga hingga level produksi makanan besar. Salah satu cara mengatur pola makan yang baik adalah dengan memilih makanan yang sehat dan bergizi. Makanan yang dikonsumsi sebaiknya rendah lemak dan tinggi serat. Bahan tambahan pangan boleh digunakan namun tentunya tidak melebihi batas aman yang ditentukan. Seperti halnya MSG. Monosodium glutamate (MSG) aman, namun sebaiknya konsumsi tidak melebihi batas aman karena salah satunya akan berisiko menyebabkan kegemukan.(11)

Naintina Lisnawati,
Mahasiswi Magister Ilmu Gizi
Universitas Diponegoro, Semarang

sumber : Suara Merdeka




No comments:

Post a Comment