TERBIASA mendengarkan musik melalui telepon pintar ataupun iPod ketika berkendara, sambil bekerja, atau menjelang tidur, seringkali dianggap tidak ada masalah sama sekali. Ini hanya merupakan kebiasaan, bukan sesuatu yang membahayakan. Namun, hal tersebut merupakan salah satu dari kebiasaan yang membahayakan organ pendengaran kita. Banyak kebiasaan yang dianggap biasa saja, namun sebenarnya berpengaruh buruk terhadap kesehatan pendengaran kita. Sebelum lebih jauh membahasnya, ada empat jenis gangguan pendengaran berdasarkan penyebabnya. Dr Dwi Antono, SpTHTKL( K) dari RSUPdr Kariadi Semarang menjelaskan, empat jenis gangguan tersebut adalah tuli kongenital atau bawaan sejak lahir, tuli karena usia atau presbikusis, tuli karena infeksi (misalnya karena radang tonsil, adanya lendir atau kotoran pada liang telinga), serta tuli karena polusi suara (noise induced). Noise induced tak hanya berasal dari tempat- tempat seperti pabrik, atau industri rumahan yang memproduksi barang-barang dari besi, baja atau logam (misalnya knalpot).
Tapi juga jalanan atau lalu lintas kendaraan bermotor, klub atau tempat-tempat yang memutar musik dengan keras, konser musik, tempat permainan daring (game online), area bermain anak-anak yang biasanya terdapat pada pusat-pusat perbelanjaan, serta kebiasaan mendengarkan musik melalui gawai (telepon pintar ataupun iPod). Perkembangan industri dan teknologi membuat lingkungan kita menjadi tempat yang lebih bising untuk ditinggali. Polusi suara menjadi hal sehari-hari yang mudah kita jumpai. Suara-suara yang terlalu bising, atau dengan desibel tinggi, bisa merusak bagian dalam telinga kita.
Begitu juga jika kit sering terpapar suara (tak terlalu) bising yang berulang atau terus-menerus berbunyi atau menderu. Jika hanya satu kali terpapar suara keras, tentu tidak akan menyebabkan gangguan pendengaran berat atau ketulian. Namun jika kita sering terpapar intensitas suara yang tinggi tersebut secara berulang hingga dalam periode tertentu, bisa menyebabkan trauma pada telinga. Yang mana trauma tersebut bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan pendengaran, telinga berdengung (tinnitus), atau pusing (dizziness). “Sel-sel rambut dalam reseptor pendengaran bisa mengalami kerusakan, dan jika sudah rusak, ini menjadi rusak permanen (tidak bisa disembuhkan),”
Dalam jangka waktu yang panjang, sering berada pada tempat bising dapat menyebabkan gangguan psikis seperti hiperagresif hingga depresi. Berapa desibel yang dianggap normal, dan yang berbahaya bagi telinga kita? Normalnya adalah sekitar 20 – 25 dB. Lebih dari itu, merupakan gangguan suara ringan, sedang, dan berat; yakni sekitar 80 dB keatas.
Berdasarkan survei yang dilakukan komnas PGPKT(Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian), rata-rata tinggi desibel ditempat-tempat bermain anak-anak adalah 97 dB, lalu-lintas sekitar 70 dB, dan pabrik yang rata-rata di atas 100 dB. “Batas waktu untuk berada dalam ruangan atau tempat dengan kebisingan sekitar 90 dB hanya 30 menit. Padahal anak-anak yang bermain di arena tersebut biasanya betah hingga satu jam lebih,”
Solusi bagi kesehatan pendengaran Hal lain yang tak kalah mengejutkan, instrumen atau perangkat elektronik yang biasa digunakan untuk mendengarkan musik, berada pada level rata-rata 80 dB. Semakin tinggi volume, tentu semakin tinggi desibelnya. Dan kebiasaan rata-rata anak muda, tidak hanya mendengarkan musik dengan volume tinggi, tapi juga mendengarkannya selama berjam-jam. Misalnya, mendengarkan lagulagu menjelang tidur, hingga mereka tertidur, dengan posisi earphone yang masih menempel telinga. Nah, kebiasaan tersebutlah yang menyebabkan generasi muda menjadi generasi yang mengalami gangguan pendengaran; tidak bisa merespon suara pelan. Melihat gaya hidup atau kebiasaan anak muda yang seperti ini, membuat komnas PGPKTbersama para ahli (dokter spesialis THT) melakukan sosialisasi ke sekolah-sekolah, serta instansi lainnya, mengenai pentingnya kesehatan pendengaran. Ironisnya, masalah pendengaran belum dianggap sebagai hal yang penting. Terlebih lagi, masih adanya anggapan bahwa orang yang menderita ketulian dianggap memiliki kasta lebih rendah. Orang-orang yang bekerja pada tempattempat berpolusi suara, misalnya pabrik, enggan memakai APD (Alat Pelindung Diri) atau earplug. Jika sudah terlanjur mengalami masalah pendengaran atau tuli, mereka juga enggan memakai alat bantu dengar. Selain karena dipandang sebagai barang mewah, mereka enggan dianggap sebagai seseorang yang tuli. Selain itu, keengganan menggunakan APD bisa menyebabkan banyak orang mengalami presbikusis lebih awal. Jadi, bukan tanpa solusi jika Anda bekerja, atau sering berada di tempat yang memiliki tingkat kebisingan tinggi. (Mutiara Manggia- 11)
Sumber : Suara Merdeka
No comments:
Post a Comment