Siapa yang tidak mengenal Monosodium Glutamate
atau yang sering kita kenal dengan MSG dalam bahasa sehari-hari ?. Tentu sebagian
besar sudah pernah mendengar bahkan sering mengkonsumsi penambah rasa yang satu ini.
Monosodium Glutamate (MSG) pertama kali diisolasi sebagai asam glutamat pada
tahun 1866 oleh ahli kimia Jerman yang bernama Ritthausen dengan hidrolisis
asam dari gliadin, sebuah komponen dari gluten gandum.
Menurut
Vernon (2004) yang dikutip dari Journal of Chemical Education menyebutkan bahwa komponen utama MSG adalah 78% glutamat, yang merupakan
salah satu asam amino pembentuk protein tubuh dan makanan. Unsurunsur MSG
lainnya juga tidak asing bagi tubuh dan makanan sehari-hari, yaitu 12% natrium/sodium dan 10% air.
Monosodium Glutamate (MSG) memiliki cita rasa yang
khas disebut ìumamiî, suatu elemen rasa yang dijumpai pada makanan alamiah
seperti kaldu. Sebagai penambah rasa (flavor enhancer), bahan ini sudah diproduksi
secara komersial sejak tahun 1909. Oleh karena itu, penggunaan MSG sampai saat
ini tidak hanya dijumpai pada proses pengolahan makanan dengan skala besar
saja, pada tingkat rumah tangga sudah sering dijumpai penggunaannya untuk sehari-hari.
Namun, ada juga masyarakat yang meyakini tidak aman atau berbahaya untuk
dikonsumsi. Lantas, Apakah MSG aman untuk dikonsumsi ?.
Tahun 1959, Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan di Amerika
mengelompokkan MSG sebagai ìgenerally recognized as safeî (GRAS), sehingga aman
untuk dikonsumsi. Di Indonesia, konsumsi aman diatur dalam PerKBPOM No.23 Tahun
2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Penguat Rasa. Dalam PerKBPOM
No.23 Tahun 2013 tidak terdapat batas aman yang spesifik untuk konsumsi MSG.
Namun, FDA menetapkan batas aman adalah 120 mg/kg berat badan/hari.
Sebuah survei yang dilakukan oleh FDA melaporkan bahwa
di Amerika Serikat konsumsi perkapita rata-rata mencapai 550 mg/hari, sedangkan
di Inggris ditemukan pada masyarakat rata-rata mencapai 580 mg/hari. Di Wilayah
Asia khususnya Jepang dan Korea diperkirakan rata-rata mencapai 1,2-1,7 g/hari.
Rata-rata konsumsi MSG untuk beberapa Negara di atas tentunya sudah
melebihi batas aman FDA. Sehingga muncul suatu pertanyaan, apa dampak yang
melebihi batas aman bagi tubuh ?. Bagaimana mekanisme ini bisa terjadi ?.
Konsumsi yang berlebih salah satunya berisiko
meningkatkan potensi kegemukan, hal ini dilansir dalam sebuah jurnal Internasional
yaitu ’’American Journal of Clinical Nutrition’’ (AJCN). Penelitian ilmiah mengenai
hubungan bahan tersebut dengan kejadian kegemukan sudah banyak dilakukan, baik
melalui hewan coba maupun manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Sanabria et
al pada tahun 2002 mengenai pemberian MSG 4 mg/hari terhadap tikus hamil hari
ke 17-21 menunjukkan bahwa anak-anak tikus lebih gemuk bahkan cenderung
obesitas. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ka He et al pada tahun 2011
juga menunjukkan bahwa konsumsi berhubungan
dengan kejadian kegemukan pada orang dewasa di China. Penelitian ini dilakukan
secara prospektif dan memakan waktu yang sangat lama yaitu mulai dari tahun
1991 sampai 2006.
Keseimbangan
MSG berpengaruh terhadap keseimbangan energi melalui
gangguan aktivitas hormon leptin pada kelenjar hipotalamus yang terdapat pada
otak. Leptin mempunyai peranan yang penting dalam hal pengaturan berat badan
seseorang. Caranya dengan mengendalikan rasa lapar dan pemakaian energi.
Pada dasarnya, leptin adalah penghubung antara sistem
syaraf pusat dan sel lemak dalam tubuh. Setelah ditangkap oleh penerima leptin,
otak segera menyampaikan sinyal yang menurunkan rasa lapar dan menaikkan
pemakaian energi. Jika aktivitas Leptin terganggu maka akan mengakibatkan nafsu
makan terus-menerus tinggi dan penggunaan energi cenderung rendah. Aktivitas
fisik yang kurang dan asupan tinggi kalori mempengaruhi sindrom metabolik dalam
tubuh dengan menurunkan tingkat asam lemak bebas dan oksidasi glukosa dalam
otot skeletal dan otot jantung, yang berpotensi menimbulkan penumpukan lemak
tubuh dan resistensi terhadap kerja biologis insulin.
Dalam bahasa sederhana, MSG dapat mengganggu kerja
hormon leptin di hipotalamus otak, dimana jika terganggu maka nafsu makan akan terus
meningkat sehingga seseorang akan merasa lapar terus-menerus dan menyebabkan
konsumsi makanan akan berlebih. Namun, peningkatan konsumsi makanan tidak
diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup sehingga penggunaan energi
cenderung rendah. Jika konsumsi makanan berlebih namun aktivitas fisik kurang
maka sindrom metabolik tubuh akan terganggu akibatnya terjadi penumpukan lemak
dalam tubuh sehingga hal ini yang menyebabkan timbulnya risiko kegemukan bahkan
jika berlangsung secara berulang akan timbul obesitas.
Gizi Ganda
Kegemukan (overweight) merupakan salah satu model
transisi masalah gizi di Indonesia, fenomena ini sering disebut masalah gizi
ganda. Sebelumnya, hanya gizi buruk saja yang ditandai dengan marasmus dan
kwashiorkor, namun sekarang ini timbul masalah gizi lebih yang ditandai dengan kegemukan
dan obesitas. Menurut data Riskesdas 2010, prevalensi obesitas di Indonesia
meningkat dari 12,2% pada tahun 2007 menjadi 14,2 % pada tahun 2010.
Kegemukan atau obesitas adalah suatu kondisi medis
berupa kelebihan lemak tubuh yang terakumulasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan dampak
merugikan, yang kemudian menurunkan harapan hidup dan atau meningkatkan masalah
kesehatan. Seperti yang telah kita ketahui sebelumnya, kegemukan atau obesitas
berisiko menyebabkan berbagai jenis penyakit.
Beberapa yang berakar dari obesitas diantaranya
penyakit jantung koroner (PJK) dan Diabetes Mellitus Tipe II yang diakibatkan oleh
resistensi insulin. Pada prinsipnya, timbunan lemak akan memicu terbentuknya aterosklerosis,
penebalan pembuluh darah akibat akumulasi senyawa lemak seperti kolesterol dan
trigliserida, khususnya pada arteri koronaria, arteri yang bertugas membawa
darah segar ke otot-otot jantung. Pengaruh lemak ini tidak bersifat langsung, tetapi
melalui proses berantai yang kompleks. Secara singkat, lemak yang terakumulasi pada pembuluh darah akan menimbulkan
peradangan, yang pada akhirnya membentuk tonjolan plak yang mempersempit
diameter dalam pembuluh darah. Pada sindrom koroner akut, biasanya telah
terjadi pecahnya plak tersebut yang nantinya dapat menyumbat pada arteri koroner.
Gejala penyakit jantung koroner yang disebut dengan
sindrom koroner akut (ìserangan jantungî) timbul ketika terjadi peningkatan
kebutuhan oksigen jantung tanpa disertai pasokan yang memadai, atau penurunan
suplai oksigen pada jantung.
Peningkatan kebutuhan oksigen ini terjadi pada saat
jantung melakukan kerja berat misalnya pada saat berolahraga berat.Sedangkan penurunan suplai
oksigen disebabkan karena adanya pengerutan atau penyumbatan arteri koroner.
Apabila kebutuhan oksigen jantung tidak terpenuhi dalam jangka waktu tertentu,
maka otot jantung akan mengalami kekurangan oksigen dalam darah (iskemia), yang
lama kelamaan akan diikuti dengan matinya sel otot jantung (nekrosis). Kondisi
iskemia dan nekrosis inilah yang menimbulkan rasa nyeri yang hebat dan henti
jantung pada penderita penyakit jantung koroner.
Fakta lain menunjukkan bahwa obesitas memicu
peradangan mikro dalam tubuh yang terjadi secara menyeluruh dan terus menerus.
Mekanisme peradangan tersebut dapat berkaitan erat dengan terjadinya respon
stress yang berujung pada resistensi fungsi insulin.
Dari sini, kita dapat mengambil faedah yaitu,
obesitas, adalah salah satu faktor risiko utama diabetes dan memang faktanya
80% pada pasien diabetes mellitus tipe II, mengalami obesitas. Kegiatan
olahraga dan pengurangan berat badan, terbukti secara ilmiah dapat meningkatkan
sensitivitas dari insulin dan memperbaiki kontrol gula darah pada pasien
diabetes.
Gambaran fenomena ini tentunya menjadi renungan
terhadap asupan makanan yang selama ini diterapkan mulai dari tingkat rumah
tangga hingga level produksi makanan besar. Salah satu cara mengatur pola makan
yang baik adalah dengan memilih makanan yang sehat dan bergizi. Makanan yang
dikonsumsi sebaiknya rendah lemak dan tinggi serat. Bahan tambahan pangan boleh
digunakan namun tentunya tidak melebihi batas aman yang ditentukan. Seperti
halnya MSG. Monosodium glutamate (MSG) aman, namun sebaiknya konsumsi tidak
melebihi batas aman karena salah satunya akan berisiko menyebabkan kegemukan.(11)
■ Naintina Lisnawati,
Mahasiswi Magister Ilmu Gizi